Selasa, 10 November 2009

MODEL-MODEL EVALUASI PENDIDIKAN

A. PENDAHULUAN
Dalam khazanah pembelajaran terdapat bermacam-macam model disain pembelajaran, misalnya model yang dikembangkan oleh Winarno Surakhmad, Winkel, Hisyam Zaini dkk., Briggs dan Wager, Gerlach dan Ely, Kemp[1]. Dari model-model disain tersebut komponen dan polanya antara yang satu dengan lainnya terdapat perbedaan. Meskipun demikian dari berbagai disain pembelajaran tersebut terdapat komponen-komponen yang termasuk komponen pokok yaitu: tujuan[2], materi, strategi, media dan evaluasi. Tujuan adalah sesuatu yang ingin dicapai, materi adalah bahan yang dipelajari siswa atau diajarkan guru kepada siswa, strategi adalah langkah-langkah yang ditempuh siswa dan / atau guru dalam mempelajari (guru = mengajarkan) materi pelajaran untuk mencapai tujuan, media adalah sarana untuk memudahkan pencapaian tujuan, dan evaluasi adalah proses untuk mengetahui pencapaian hasil dan efektivitas pembelajaran. Dengan demikian evaluasi merupakan salah satu komponen pokok yang selalu ada dalam pembelajaran. Dengan kata lain. sebuah pembelajaran tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan evaluasi.
Secara umum evaluasi memiliki dua fungsi utama yaitu untuk mengetahui pencapaian hasil belajar siswa dan hasil mengajar guru[3]. Pengetahuan tentang hasil belajar siswa terkait dengan sejauh mana siswa telah mencapai tujuan pembelajaran atau kompetensi-kompetensi yang telah ditetapkan. Sedangkan hasil mengajar guru terkait dengan sejauh mana guru sebagai manajer belajar siswa[4] dalam hal merencanakan, mengelola, memimpin dan mengevaluasi.
Realitas menunjukkan bahwa masih banyak yang mereduksi evaluasi sebagai kegiatan tes, hal ini dibuktikan dengan kegiatan evaluasi yang menonjol di lembaga dan satuan pendidikan adalah pelaksanaan tes yang dilaksanakan setelah penyelesaikan pokok bahasan tertentu (kompetensi dasar tertentu) sebagai tes formatif dan tes akhir semester yang dikenal dengan tes sumatif serta tes yang diselenggarakan di akhir jenjang pendidikan tertentu dalam bentuk ujian akhir sekolah dan ujian nasional. Dari tes formatif, sumatif[5], hingga ujian akhir sekolah dan ujian nasional, sebagian besar dalam bentuk tes, dan tes tersebut sebagian besar dalam bentuk tes tertulis. Padahal tes tertulis hanyalah salah satu bentuk tes (di samping tes lisan dan tindakan), dan tes hanyalah salah satu dari teknik evaluasi (di samping teknik non tes / alternative test).
Menggunakan teknik tes tertulis untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik yang mencakup berbagai domain / ranah ( kognitif, afektif dan psikomotor) sudah barang tentu tidak dapat memberikan informasi yang valid dan reliabel serta tidak selaras dengan prinsip kontinuitas, objektivitas, keseimbangan dan komprehensifitas sebuah evaluasi[6]. Tes tepat dipakai untuk mengukur pencapaian domain kognitif, tetapi tidak tepat untuk mengukur pencapaian ranah afektif. Padahal cakupan tujuan pendidikan, baik pada tingkat nasional, tingkat jenjang pendidikan, satuan pendidikan, bahkan hingga tujuan mata pelajaran (standar kompetensi mata pelajaran) momot domain kognitif, afektif dan psikomotor. Sehingga ironis memang sebuah proses pembelajaran yang panjang (3 sampai dengan 6 tahun), terkadang ditentukan oleh hasil tes tertulis yang dilaksanakan beberapa jam pada mata pelajaran tertentu[7].
Dalam tulisan ini akan dideskripsikan secara ringkas perkembangan studi tentang evaluasi yang telah melahirkan berbagai model evaluasi. Dengan mengetahui ragam model evaluasi diharapkan akan menambah khasanah informasi kepada para pelaku pendidikan khususnya tenaga pengajar, bahwa untuk mengetahui pencapaian hasil belajar siswa dan efektifitas proses pembelajaran dapat dilakukan dengan memilih salah satu model evaluasi atau menggabungkan dua model evaluasi atau lebih.
B. MODEL-MODEL EVALUASI
Dalam beberapa literatur evaluasi terdapat berbagai model evaluasi. Di antara literatur yang penulis temukan sekaligus menjadi referensi utama tulisan ini, yakni tulisan dari: Hasan, Said Hamid, (1988)[8], Issac, Stephen and William B Michael (1984)[9], Mehren, William M and Irvin J. Lehman (1973)[10], Sudjana, Nana dan Ibrahim (2001)[11], Tayibnapis. Farida Yusuf (2000)[12], Worthen, Blaine R. and James R. Sanders (1987)[13], yang selengkapnya dapat dilihat pada daftar pustaka.
Dengan acuan referensi di atas penulis mengklasifikasi model evaluasi menjadi: model pengukuran (measurement model), model kesesuaian (congruence model), model sistem (system model), dan model illuminatif (illuminative model).
1. Measurement Model[14]
Measurement Model merupakan model yang tertua dibanding model-model evaluasi yang lain, tokoh-tokoh pengembang model ini antara lain: R. Thorndike dan R.L. Ebel.
R. Thorndike misalnya, berkeyakinan: if anything exists, it exists in quantity, and if it exists in quantity it can be measured[15]. Menurut model ini penilaian pendidikan pada dasarnya tidak lain adalah “pengukuran” terhadap berbagai aspek tingkah laku dengan tujuan untuk melihat perbedaan-perbedaan individu atau kelompok, yang hasilnya diperlukan dalam rangka seleksi, bimbingan, dan perencanaan pendidikan bagi para siswa di sekolah
Ruang lingkup evaluasi menurut model ini adalah tingkah laku, terutama tingkah laku siswa, yang mencakup kemampuan hasil belajar, kemampuan pembawaan (intelegensi, bakat), minat, sikap dan juga aspek-aspek kepribadian siswa. Dengan kata lain, objek penilaian mencakup aspek kognitif maupun afektif dari tingkah laku siswa.
Alat penilaian yang lazim digunakan dalam model ini adalah tes tertulis atau paper and pencil test. Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang setepat mungkin ada kecenderungan untuk mengembangkan alat-alat penilaian (tes) yang baku atau standardized. Tes yang belum dibakukan dipandang kurang dapat mencapai tujuan dari pengukuran. Diperlukan uji coba berkali-kali terhadap instrument yang dikembangkan. Setelah suatu tes diujicobakan kepada sampel yang cukup besar, kemudian berdasarkan data yang diperoleh, dilakukan analisis untuk mengetahui validitas dan reliabilitas tes secara keseluruhan maupun setiap soal (analisis butir tes)[16] yang terdapat di dalamnya.
Untuk mengungkapkan hasil yang telah dicapai kelompok maupun masing-masing individu di dalam penilaian mengenai suatu bidang pelajaran tertentu, dikembangkan suatu norma kelompok berdasarkan angka-angka nyata yang diperoleh siswa di dalam tes yang telah dilaksanakan. Atas dasar norma kelompok inilah kemudian nilai untuk masing-masing siswa ditentukan. Dengan kata lain nilai yang dicapai seoramng siswa lebih menggambarkan ”kedudukan” siswa tersebut di dalam kelompoknya (relative norm) penilaian acuan norma (PAN).
Pendekatan lainnya dalam model ini adalah membandingkan hasil belajar antara dua atau lebih kelompok yang menggunakan cara pengajaran yang berbeda sebagai variabel bebas. Analisis perbedaan skor dilakukan dengan menggunakan cara-cara statistik tertentu untuk dapat menyimpulkan cara pengajaran mana yang lebih efektif di antara cara-cara yang dinilai.
Keterbatasan Measurement Model
Keterbatasan dari model ini terletak pada penekanannya yang berlebihan pada aspek pengukuran dalam kegiatan penilaian pendidikan. Konsekuensinya penilaian cenderung dibatasi pada dimensi tertentu dari system pendidikan yang “dapat diukur” dalam hal ini adalah hasil belajar yang bersifat kognitif. Yang menjadi persoalan adalah bahwa hasil belajar yang bersifat kognitif tersebut bukan merupakan satu-satunya indikator bagi keberhasilan suatu kurikulum. Kurikulum sebagai suatu “alat” untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan diharapkan dapat mengembangkan berbagai potensi yang ada pada diri siswa, tidak terbatas hanya pada potensi kognitif saja.
Adanya beberapa ketidak serasian dengan peranan penilaian dalam proses pengembangan kurikulum / system pendidikan, antara lain:
1) Dalam pengembangan alat penilaian, model ini banyak dipengaruhi oleh prosedur yang ditempuh dalam pengembangan tes psikologis, antara lain tes intelegensi dan tes bakat. Untuk mengembangkan tes tersebut berlaku ketentuan bahwa soal tes yang memiliki daya pembeda rendah perlu direvisi atau diganti dengan tes lain yang mempunyai daya pembeda yang tinggi. Prosedur semacam ini ini kurang cocok untuk diterapkan dalam penilaian hasil belajar dalam rangka / pengembangan pendidikan, karena dalam penilaian pendidikan yang penting adalah bahwa soal-soal tes yang dibuat betul-betul konsisten dengan tujuan pendidikan yang ingin dinilai pencapaiannya[17].
2) Dalam pengolahan hasil tes, modelini dipengaruhi oleh prosedur dalam pengolahan hasil tes psikologis dan nilai yang dicapai oleh masing-masing siswa lebih mencerminkan “kedudukannya”dalam kelompok. Dalam proses pengembangan pendidikan, nilai semacam ini kurang mempunyai arti karena sifatnya relative. Yang lebih berarti dalam proses pengembangan pendidikan adalah nilai-nilai yang menunjukkan sejauh mana tujuan-tujuan pendidikan telah dicapai oleh siswa, secara individual maupun kelompok, bukan nilai relative yang mencerminkan posisi siswa dalam kelompoknya.
3) Informasi yang disajikan menurut modelini lebih berbentuk skor keseluruhan (total score) yang dicapai setiap siswa, yang dilengkapi dengan data mengenai nilai rata-rata dan standar deviasi yang dicapai kelompok. Informasi semacam ini pun kurang relevan dengan kebutuhan yang dirasakan dalam proses pengembangan pendidikan, karena skor keseluruhan lebih banyak “menyembunyikan” dari pada mengungkapkan informasi yang diperlukan untuk kepentingan penyempurnaan system. Yang lebih diperlukan dalam proses pengembangan pendidikan adalah bentuk penyajian hasil tes yang dapat memberikan petunjuk tentang bagian-bagian mana dari system pendidikan yang masih lemahdan karenanya memerlukan perbaikan.
Keunggulan Measurement Model
Keunggulan dari model ini adalah sumbangannya yang sangat berarti dalam hal penekannya terhadap pentingnya objektivitas dalam proses penilaian. Aspek objektivitas yang ditekankan oleh model ini perlu dijadikan landasan yang terus-menerus dalam rangka mengembangkan sistem penilaian pendidikan. Di samping itu evaluasi dalam model ini memungkinkan untuk melakukan analisis intrumen dan hasil evaluasi secara statistic.
2. Congruence Model
Model ini dapat dipandang sebagai reaksi terhadap model yang pertama, sekalipun dalam beberapa hal masih menunjukkan adanya persamaan dengan model yang pertama. Tokoh model ini: Raph W. Tyler, John B. Carrol, and Lee J. Cronbach
Menurut Tyler, sebagai proses pendidikan berisi tiga komponen yang saling terkait yaitu: tujuan pendidikan, pengalaman belajar dan penilaian hasil belajar. Penilaian merupakan kegiatan untuk mengetahui sejauh mana tujuan-tujuan pendidikan telah dapat dicapai oleh siswa dalam bentuk hasil belajar yang mereka perlihatkan pada akhir kegiatan pendidikan.
Mengingat tujuan-tujuan pendidikan mencerminkan perubahan-perubahan tingkah laku yang diinginkan pada peserta didik, maka yang penting dalam proses penilaian adalah memeriksa sejauh mana perubahan-perubahan tingkah laku yang diinginkan tersebut telah dicapai peserta didik. Tindak lanjut dari penilaian ini adalah sebagai bahan bimbingan lebih lanjut kepada peserta didik serta memberikan informasi kepada pihak luar yang terkait dengan hasil belajar peserta didik.
Penilaian tidak lain adalah usaha untuk memeriksa persesuaian (congruence) antara tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan dan hasil belajar yang telah dicapai. Karena tujuan pendidikan menyangkut tentang perubahan perilaku yang diinginkan pada peserta didik, maka penilaian dimaksudkan untuk memeriksa sejauh mana perubahan-perubahan yang diinginkan tersebut telah dicapai.
Ruang lingkup evaluasi menurut model ini adalah memeriksa persesuaian (congruence) antara tujuan dan hasil belajar, maka yang dijadikan objek penilaian adalah tingkah laku siswa. Secara lebih khusus, yang dinilai adalah perubahan tingkah laku yang diinginkan (intended behavior) yang diperlihatkan oleh siswa pada akhir kegiatan pendidikan. Ruang lingkup perilaku meliputi; pengetahuan, keterampilan, nilai / sikap.
Congruence model tidak membatasi alat penilaian hanya pada tes tertulis atau paper and pencil test saja. Carroll misalnya menyebutkan perlunya digunakan alat-alat penilaian lain seperti tes perbuatan dan observasi[18].
Ringkasnya, dalam menilai hasil belajar yang mencakup berbagai jenis (pengetahuan, keterampilan, nilai / sikap) berbagai kemungkinan alat penilaian perlu digunakan
Karena penilaian dipergunakan sebagai alat ukur pencapaian hasil belajar setelah menempuh proses pendidikan maka diperlukan prosedur pre and post test.
Model ini tidak menyarankan dilaksanakannya penilaian perbandingan untuk melihat sejauh mana kurikulum yang baru lebih efektif dari kurikulum yang ada. Tyler dan Cronbach lebih mengarahkan peranan penilaian pada tujuan untuk memperbaiki kurikulum atau system pendidikan.
Langkah-langkah penilaian:
1) merumuskan atau mempertegas tujuan
2) menetapkan test situation yang diperlukan
3) menyusun alat penilaian
4) menggunakan hasil penilaian.
Berhubung setiap system pendidikan memiliki berbagai tujuan yang ingin dicapainya, akan lebih tepat bila hasil penilaian tidak dinyatakan dalam bentuk hasil keseluruhan tes melainkan dalam bentuk hasil bagian- demi bagian dari tes yang bersangkutan, sehingga terlihat jelas bagian-bagian mana dari system pendidikan yang masih perlu disempurnakan berhubung belum berhasil mencapai tujuannya.
Kontribusi Congruence Model
Sumbangan yang cukup berarti congruence model adalah:
1) menghubungkan hasil belajar dengan tujuan pendidikan sebagai criteria perbandingan
2) Memperkenalkan system pengolahan hasil penilaian secara bagian demi bagian, yang ternyata lebih relevan dengan kebutuhan pengembangan system
Keterbatasan:
Tidak menjadikan input dan proses pelaksanaan sebagai objek penilaian secara langsung. Dengan model pre da pos tes informasi yang dihasilkan hanya dapat menjawab pertanyaan tentang tujuan-tujuan mana yang telah dan belum dicapai. Pertanyaan tentang mengapa tujuan-tujuan tertentu belum dapat dicapai belum dapat dijawab. Pendekatan ini membantu pengembang kurikulum dalam menentukan bagian-bagian mana dari sistem yang masih lemah, tetapi kurang membantu di dalam mencari jawaban tentang segi-segi apa yang masih lemah dan bagaimana kemungkinan mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut[19].
3. System Model
Hakekat evaluasi menurut system model adalah untuk membandingkan performance dari berbagai dimensi sistem yang sedang dikembangkan dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada suatu deskripsi dan judgment mengenai sistem yang dinilai tersebut
Prinsip-prinsip model ini adalah:
1) menekankan pentingnya sistem sebagai suatu keseluruhan yang dijadikan objek penilaian, tanpa membatasi pada aspek hasil yang dicapai saja. Dikatakan Gene V. Class bahwa the complete and detailed description of what constitutes the educational program is a concern of the educational system evaluation model[20].
2) Perbandingan antara performance dan criteria juga merupakan salah satu inti yang penting. Menurut Daniel L. Stufflebeam salah satu kelemahan dari penilaian yang ada sekarang adalah kurang jelasnya criteria yang digunakan sebagai dasar dalam penilaian tersebut.
3) Kegiatan penilaian tidak hanya berakhir pada suatu deskripsi tentang keadaan dari system yang telah dinilainya, melainkan harus sampai pada suatu judgment mengenai baik-buruknya, efektif tidaknya, system pendidikan tersebut.
4) Informasi yang diperoleh dari hasil penilaian berfungsi sebagai bahan atau input bagi pengambilan keputusan mengenai system yang bersangkutan dalam rangka:
a) penyempurnaan system selama system tersebut masih dalam tahap pengembangan
b) penyimpulan mengenai kebaikan (merit, worth) dari system pendidikan yang bersangkutan dibandingkan dengan system yang lain.
Dari uraian di atas dapat disimpulan bahwa hakekat evaluasi menurut system model adalah:
1) penilaian ditujukan kepada berbagai dimensi system
2) perbandingan antara performance dan criteria
3) tidak hanya berakhir dengan deskripsi tetapi juga judgment sebagai kesimpulan dari penilaian
4) hasil penilaian digunakan sebagai bahan atau input bagi pengampilan keputusan, dalam rangka penyempurnaan system maupun penyimpulan mengenai kebaikan system yang bersangkutan secara menyeluruh.
Ruang lingkup evaluasi menurut model ini berdasarkan pendapat tokohnya adalah sebagai berikut:
1) Stake membagi objek penilaian atas tiga kategori: antecendent, transactions dan outcomes[21].
2) Stufflebeam menggolongkan system pendidikan atas 4 dimensi yaitu: context, input, process dan product (CIPP)[22].
3) Scriven mencakup: sarana / bahan, proses dan hasilyang dicapai
4) Provus mencakup empat dimensi yaitu: design, operation program, interim products dan terminal product[23].
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup evaluasi dalam model ini adalah:
1) Objek sekurang-kurangnya: peralatan / sarana, proses dan hasil yang dicapai.
2) Mencakup data objektif maupun data subjektif
Keunggulan System Model
Model ini mengemukan perlunya penilaian dilakukan terhadap berbagai dimensi system, tidak hanya hasil yang dicapai saja, melainkan juga input dan proses yang dilakukan tahap demi tahap. Hal ini penting agar penyempurnaan system dapat dilakukan pada setiap tahap sehingga kelemahan yang masih terlihat pada suatu tahap tertentu tidak dibawa ke tahap berikutnya.
4. Illuminative Model[24]
Nama Illuminative, oleh pengembangnya didasarkan atas alas an bahwa penggunaan berbagai cara evaluasi di dalam model ini bila dikombinasikan akan help illuminative problems, issues, and significant program features. Model ini dikembangkan terutama di Inggris dan banyak dikaitkan dengan pendekatan di bidang antropologi[25]. Salah satu tokoh yang paling menonjol dalam pengembangan model ini adalahh Malcolm Parlett[26].
Tujuan penilaian menurut model ini adalah mengadakan studi yang cermt terhadap system yang bersangkutan. Studi difukuskan pada permasalahan bagaimana implementasi suatu system dipengaruhi oleh situasi sekolah tempat system tersebut dikembangkan, keunggulan dan kelemahan serta pengaruhnya terhadap proses belajar siswa. Hasil evaluasi ditekankan pada deskripsi dan interpretasi, bukan pengukuran dan prediksi sebagaimana model sebelumnya. Dalam pelaksanaan evaluasi, model ini lebih menekankan penggunaan judgment, selaras dengan semboyannya the judgment is the evaluation[27].
Objek evaluasi yang diajukan dalam model ini mencakup; latar belakang dan perkembangan yang dialami oleh system yang bersangkutan, proses implementasi (pelaksanaan) system, hasil belajar yang diperlihatkan oleh siswa serta kesukaran-kesukaran yang dialami dari tahap perencanaan hingga implementasinya di lapangan. Di samping itu juga dampak yang ditimbulkan dari suatu system seperti; kebosanan yang terlihat pada siswa dan guru, ketergantungan secara intelektual, hambatan terhadap perkembangan sikap social, dan sebagainya. Ringkasnya objek evaluasi dalam model ini meliputi kurikulum yang terlihat maupun yang tersembunyi (hidden curriculum)[28].
Tahapan evaluasi dalam Illuminative model terdiri dari 3 fase yaitu:
1) Tahap pertama observe. Pada tahap ini evaluator mengunjungi sekolah atau lembaga yang sedang mengembangkan system tertentu. Evaluator mendengarkan dan melihat berbagai peristiwa, persoalan serta reaksi dari guru maupun siswa terhadap pelaksanaan system tersebut.
2) Tahap kedua Inquiry further. Pada tahap ini berbagai persoalan yang terlihat atau terdengar dalam tahap pertama diseleksi untuk mendapatkan perhatian dan penelitian lebih lanjut.
3) Tahap ketiga Seek to explain. Pada tahap ini evaluator mulai meneliti sebab akibat dari masing-masing persoalan. Pada tahap ini factor-faktor yang menyebabkan timbulnya persoalan dicoba untuk ditelusuri. Data semula terpisah satu dengan lainnya mulai disusun dan dihubungkan dalam kesatuan situasi. Langkah selanjutnya dilakukan interpretasi data yang diharapkan dapat dijadikan bahan dalam pengambilan keputusan[29].
Dari langkah-langkah tersebut, faktor penting dalam evaluasi model ini adalah perlunya kontak langsung antara evaluator dengan pihak yang dievaluasi. Hal ini disebabkan model ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menekankan pentingnya menjalin kedekatan dengan orang dan situasi yang sedang dievaluasi agar dapat memahami secara personal realitas dan hal-hal rinci tentang program atau system yang sedang dikembangkan[30]. Di samping itu, factor lainnya adalah pandangannya yang holistic dalam evaluasi, yang berasumsi bahwa keseluruhan adalah lebih besar daripada sejumlah bagian-bagian[31].
Keunggulan Illuminative Model
Menekankan pentingnya dilakukan penilian yang kontinu selama proses pelaksanaan pendidikan sedang berlangsung. Jarak antara pengumpulan data dan laporan hasil penilaian cukup pendek sehingga informasi yang dihasilkan dapat digunakan pada waktunya.
Keterbatasan Illuminative Model
Kelemahan terutama terletak pada segi teknis pelaksanaannya:
1) Kegiatan penilaian tidak didahului oleh adanya perumusan kriteria secara eksplisit
2) Objektivitas penilaian yang dilakukan perlu dipersoalkan
3) Adanya kecenderungan untuk menggunakan alat penilaian yang ”terbuka” dalam arti kurang spesifik dan berstruktur.
4) Tidak menekankan pentingnya penilaian terhadap programbahan-bahan kurikulum selama bahan-bahan tersebut disusun dalam tahap perencanaan.
Kontribusi Illuminative Model[32]
Sumbangan terbesar Illuminative Model adalah kritikannya terhadap penggunaan model scientific experiment dalam penilaian pendidikan yang dirasakan kurang tepat. Pendidikan sebagai upaya ”memanusiakan manusia” tidak dapat dideskripsikan secara matematis. Aspek-aspek kemanusiaan tidak semuanya dapat dilakukan pengukuran secara mudah dan tepat, seperti: perasaan, sikap, motivasi, semangat, dan sebagainya.
C. PENUTUP
Dari uraian ringkas di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi dalam dunia pendidikan memiliki banyak model dan pendekatan, mulai model yang dominasi pengukuran secara kuantitatif seperti pada measurement model hingga model yang menggunakan pendekatan kualitatif seperti Illuminative model.
Dengan mempelajari berbagai model akan memperluas cakrawala serta wawasan sehingga terpancang pengunaan satu model saja, melainkan dapat menggabungkan (merger) dua model atau lebih atau bahkan mengembangkan model tersendiri. Pada prinsipnya, evaluasi yang baik adalah yang memenuhi prinsip-prinsip validitas, reliabilitas, objektivitas, kontinuitas, serta komprehensif. Sehingga informasi yang dihasilkan dapat dijadikan bahan dalam pembuatan keputusan benar dan bijak.
[1] Penulis lahir di Karanganyar, 22 Desember 1966. Menyelesaikan S-1 Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1989. Menyelesaikan S-2 Pascasarjana UNY Prodi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan tahun 2001. Mulai tahun 2007 mengambil S-3 By Research di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menjadi Dosen Tetap STAIN Purwokerto semenjak 1991.
[1] Surakhmad, Winarno (1986), Pengantar Interaksi Mengajar Belajar: Dasar dan teknik metodologi pengajaran, edisi IV, Bandung: Tarsito. Dapat dilihat pula di Zaini, Hisyam, dkk (2002), Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: CTSD IAIN Sunan Kalijaga. Lihat juga Soenarwan (1991) Pendekatan sistem dalam Pendidikan, Surakarta: UNS Press.
[2] Terdapat beberapa istilah tentang sesuatu yang ingin dicapai dalam pembelajaran. Semenjak Kurikulum 1975 dikenal istilah tujuan yang dalam implementasi operasionalnya dikenal Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) lihat Winkel, W.S. (2007), Psikologi Pengajaran, Yogyakarta: Media Abadi, hlm. 266-303. Kemudian Tujuan Pembelajaran Umum (TPU), Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK). Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi dikenal istilah Standar Kompetensi (SK),Kompetensi Dasar (KD), hasil belajar, dan indikator pencapaian lihat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Lihat juga Mulyasa E. (2006), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Sebuah Panduan Praktis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Lihat pula tulisan Khaeruddin dan Mahfud Junaedi (2007), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Konsep dan Implementasinya di Madrasah, Jogjakarta: Kerjasama Madrasah Development Center (MDC) Jateng dan Pilar Media. Apapun istilah yang dipakai pada prinsipnya adalah rumusan tentang sesuatu yang ingin dicapai dalam proses tersebut.

[3] Winkel, W.S. Op. Cit. hlm. 304 dan 531-532. Dapat dilihat juga di Sudijono, Anas (1996), Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada lihat juga Arikunto, Suharsimi (2002), Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi), Jakarta: Bumi Aksara.
[4] Guru sebagai manajer memiliki empat fungsi yaitu: merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengawasi. Lihat Davis. Ivor K.(1987), Pengelolaan Belajar, penerjemah; Sudarsono Sudirdjo, Lily Rompas, Koyo Kartasurya, Jakarta: CV Rajawali bekerja sama demngan Pusat Antar Universitas di Universitas Terbuka, hlm. 29-39. Sementara ahli mengemukan bahwa guru memiliki beberapa peran, yaitu sebagai ahli instruksional, motivator, manager, pemimpin, konselor, “Insinyur lingkungan”, model (teladan), Lihat Woolfolk, Ibid, hlm. 3-9.
[5] Michael Sriven seorang ahli dalam penelitian evaluasi melihat pembagian evaluasi secara formatif dan sumatif dari segi fungsi. Formatif difungsikan sebagai pengumpulan data pada waktu pendidikan masih berlangsung. Sedangkan evaluasi sumatif dilaksanakabn jika program kegiatan sudah betul-betul dilaksanakan. Sementara ahli memandang formatif dan sumatif menunjuk pada lingkup atau luasnya yang dinilai. Sasaran evaluasi sumatif merupakan gabungan dari sasaran evaluasi formatif. Lihat Suharsimi Arikunto (2000), Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 283.
[6] Terdapat beberapa prinsip dasar evaluasi antara lain: validitas, reliabilitas, objektivitas, praktikabilitas, ekonomis. Lihat Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar…OpCit., hlm. 58-63.
[7] Mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional adalah: Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Penentuan tiga mata pelajaran ini yang mengundang polemik antara pro dan kontra. Yang kontra mempertanyakan apakah ketiga mata pelajaran tersebut dapat mewakili (representative) seluruh mata pelajaran PKn dan sebagainya.

[8] Hasan, Said Hamid, (1988), Evaluasi Kurikulum, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi; Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
[9] Issac Issac, Stephen and William B Michael (1984), Handbook in research and evaluation, second edition, San Diego, California: Edits Publisher. Dalam buku ini model evaluasi diklasifikasi menjadi 6 yaitu: Goal-oriented evaluation, decision-oriented evaluation, transactional-oriented evaluation, evaluation research, goal-free evaluation, dan adversary evaluation., hlm. 7.
[10] Mehren, William M and Irvin J. Lehman (1973), Measurement and Evaluation in Education and Psychology, New York, Chicago, San Francisco, Atlanta, Dallas, Montreal, Toronto, London, Sydney: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
[11] Sudjana, Nana dan Ibrahim (2001), Penelitian dan Penilaian Pendidikan, cetakan kedua, Bandung: Sinar Baru Algensindo, hlm. 234-260. Dalam tulisan ini model evaluasi diklasifikasi menjadi 4, yakni: Measurement model, congruence model, educational model dan illuminative model. Klasifikasi model evaluasi yang penulis sajikan dalam tulisan mengikuti model dari Sudjana dengan beberapa modifikasi dan tambahan. Seperti educational system model menurut Sudjana, penulis lebih cocok dengan system model.
[12] Tayibnapis. Farida Yusuf (2000), Evaluasi Program, Jakarta: Rineka Cipta. Hlm. 13-35. Dalam buku ini dibedakan pendekatan dengan model evaluasi. Model evaluasi diklasifikasi menjadi: Model CIPP, Model UCLA, Model Brinkerhoff dan Model Stake atau model Countenance. Sedangkan pendekatan evaluasi diklasifikasi menjadi: pendekatan eksperimental, Pendekatan berorientasi pada tujuan, pendekatan yang berfokus pada tujuan, pendekatan berorientasi kepada pemakai, pendekatan yang Responsif dan pendekatan Goal Free evaluation. Klasifikasi pendekatan evaluasi ini hamper mirip dengan pembagian menurut Worthen & Sanders.
[13] Worthen, Blaine R. and James R. Sanders (1987), Educational Evaluation: Alternative Approaches and Practical Guidelines, White Plains, New York: Longman, hlm. 41-160. Dalam buku ini Worthen & Sanders mengistilahkan dengan pendekatan evaluasi (evaluation approach). Menurutnya ada 6 pendekatan evaluasi, yaitu: objectives oriented, management oriented, consumer oriented, expertise oriented, adversary oriented dan naturalistic and participant oriented.
[14] Referensi model ini cukup banyak antara lain Allen, Mary J. & Yen, Wendy M. (1979), Inroduction to Measurement Theory, Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company. Lihat juga William M and Irvin J. Lehman Loc. Cit. lihat juga Hopkins, Charles D. and Richard L. Antes (1990), Classroom Measurement and Evaluation, third edition, Itasca, Illionis: F.E. Peacock Publisher, Inc. Lihat juga Suryabrata, Sumadi (1997), Pengembangan Tes Hasil Belajar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Lihat juga Azwas Saifuddin (1996), Tes Prestasi: Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[15] Sudjana, Nana dan Ibrahim, Op. Cit., hlm. 235
[16] Referensi Analisis Butir Tes antara lain dapat dilihat tulisan Hambleton, Ronald K., Swaminathan, H., Jane Rogers (1991), Fundamentals of Item Response Theory, Newbury Park, London, New Delhi: Sage Publications.
[17] Ibid, hlm. 256
[18] Ibid, hlm. 241
[19] Ibid, 258 – 259.
[20] Ibid, 244
[21] Tayibnapis, Op. Cit., hlm. 21-22. Lihat juga Worthen & Sanders, Op. Cit., hlm. 130-132.
[22] Worthen & Sanders, Op. Cit., hlm. 78. Lihat juga Issac & Michael, Op. Cit., hlm. 7-12.
[23] Worthen & Sanders, Op. Cit., hlm. 68-70.
[24]Ibid. , hlm. 132-133.
[25] Untuk referensi model ini dapat juga dilihat tulisan Fetterman, David M. editor (1988), Qualitative Approaches to Evaluation in Education: The Silent Scientific Revolution, New York, Westport, Connecticut, London: Praeger.
[26] Sudjana & Ibrahim, Op. Cit., hlm. 250.
[27] Ibid, 251.
[28] Ibid, 252.
[29] Ibid, hlm. 253-253.
[30] Patton, Michael Quinn (2006), Metode Evaluasi Kualitatif, Judul asli: How to use Qualitative Methods in Evaluation, Penerjemah: Budi Puspo Priyadi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 18.
[31] Ibid, hlm. 20
[32] Sudjana & Ibrahim, Op. Cit., hlm. 260

Tidak ada komentar:

Posting Komentar